Senyumku pagi ini lebar sekali, lain dari biasanya. Tangan kananku menggenggam ponsel, mataku menatapnya gembira. Tangan kiriku merapi-rapikan rambut yang tak boleh koyak saat bertemu Ksatriaku nanti. Sambil terus membaca kalimat yang sama di layar ponsel, otakku meramu kata kata yang tak kalah manis dari madu hutan. Saat tombol kirim itu ditekan, ada degub kencang jantungku yang berisik di telinga. Tapi itu adalah irama favoritku saat ini.
Setidaknya setahun terakhir ini, semua berjalan dengan normal. Sekolahku, keluargaku, pertemananku, dan Ksatriaku yang baru. Biar kuceritakan tentangnya, Ksatriaku. Tunggu, tapi aku tak mungkin menghabiskan selembar kertasku yang berharga ini hanya untuk menggambarkan ketertarikanku padanya.
Singkatnya, dia bagai pangeran yang datang dari negeri sebrang membawa kegembiraan dan suka cita untuk tuan putrinya. Begitulah skenario yang hatiku ciptakan akhir-akhir ini. Sampai aku menyadari hal terpenting dari kehadirannya, yang lebih seperti penyelamatku dari perasaan lama ku yang tak mau hilang meski aku mengusirnya sekuat tenaga. Itulah mengapa kusebut dia Ksatria.
Mada, kupikir diamku ini menjadi cambukmu untuk berpikir. Tapi nyatanya hanya menjadi pekerjaanku yang membosankan, menghabiskan waktuku untuk mempertanyakan dirimu yang dulu. Tak apa jika kau merenggut waktuku ini hanya satu jam, dua, atau seharian. Tapi tidak Mada, aku menyimpannya bertahun-tahun. Berdebu, berkarat, terus kugenggam dan kupertanyakan sepanjang waktu. Bahkan meski aku dan kau bertemu dalam sekali waktu, tak sedikitpun kau mau menengoknya, rasa itu. Bodoh, harusnya aku tau semua itu palsu.
Dalam diamku, Tuhan tidak tidur. Ia memandangku dari atas sana, memperhatikanku mengemasi satu-satu kenangan itu. Ia menjatuhkanku pada seorang lain yang datang tepat saat aku memutuskan untuk menghapus Mada. Ksatria yang sempat bingung arah, ia yang juga tengah membangun jalan baru untuknya berjalan lagi dari kisahnya yang lalu. Namun yang harus ku tahu, Ksatria tak selamanya bisa melindungimu. Saat tugasnya selesai, dia kembali pada tuannya.
Mada menyiksaku, seketika rasa yang telah kukubur sedalam penyesalanku mencuat begitu saja ke permukaan. Rindu yang kubekukan padat dalam sudut mataku mencair sejadinya. Bahkan kini aku tak perduli pada bagian ketulusan, apa yang kulihat saat ini adalah linang di matanya dan gemetar tangannya. Seperti ia mengupas habis seluruh sesal yang memenjarakannya. Aku lupa sudah sampai mana, namun kini Ksatriaku tak datang menghapus senja di mataku ini. Mada disana, memberikan bahunya seraya berkata “aku pulang”.
#CintaDalamKata
Jika Hati adalah Rumahnya, Cinta Selalu Tahu ke Mana Ia Harus Pulang
read more
0 komentar:
Posting Komentar