Jika Hati adalah Rumahnya, Cinta Selalu Tahu ke Mana Ia Harus Pulang - Koran Unik

Sabtu, 20 Agustus 2016

Jika Hati adalah Rumahnya, Cinta Selalu Tahu ke Mana Ia Harus Pulang

Senyumku pagi ini lebar sekali, lain dari biasanya. Tangan kananku menggenggam ponsel, mataku menatapnya gembira. Tangan kiriku merapi-rapikan rambut yang tak boleh koyak saat bertemu Ksatriaku nanti. Sambil terus membaca kalimat yang sama di layar ponsel, otakku meramu kata kata yang tak kalah manis dari madu hutan. Saat tombol kirim itu ditekan, ada degub kencang jantungku yang berisik di telinga. Tapi itu adalah irama favoritku saat ini.

Setidaknya setahun terakhir ini, semua berjalan dengan normal. Sekolahku, keluargaku, pertemananku, dan Ksatriaku yang baru. Biar kuceritakan tentangnya, Ksatriaku. Tunggu, tapi aku tak mungkin menghabiskan selembar kertasku yang berharga ini hanya untuk menggambarkan ketertarikanku padanya.

Singkatnya, dia bagai pangeran yang datang dari negeri sebrang membawa kegembiraan dan suka cita untuk tuan putrinya. Begitulah skenario yang hatiku ciptakan akhir-akhir ini. Sampai aku menyadari hal terpenting dari kehadirannya, yang lebih seperti penyelamatku dari perasaan lama ku yang tak mau hilang meski aku mengusirnya sekuat tenaga. Itulah mengapa kusebut dia Ksatria.

Mada, pria yang membuatku mabuk dan terbelenggu bertahun-tahun lamanya. Aku mengenalnya bukan sengaja, dia datang dan menyuguhkan cinta manisnya. Aku senang, terbuai, bahkan sempat berpikir ini akhir cerita dongeng bahagia. Oh betapa gila nya aku saat itu. Tak lama setelahnya, dia membawaku pada cerita barunya, bukan tentang pelangi dan buga-bunga lagi. Raut nya tak sama lagi, matanya berbicara bahasa yang tak kumengerti, dia ingin pergi dan selalu seperti ingin pergi. Aku bertanya, namun bibirnya menyembunyikan ladang kebenaran. Aku diam.

Mada, kupikir diamku ini menjadi cambukmu untuk berpikir. Tapi nyatanya hanya menjadi pekerjaanku yang membosankan, menghabiskan waktuku untuk mempertanyakan dirimu yang dulu. Tak apa jika kau merenggut waktuku ini hanya satu jam, dua, atau seharian. Tapi tidak Mada, aku menyimpannya bertahun-tahun. Berdebu, berkarat, terus kugenggam dan kupertanyakan sepanjang waktu. Bahkan meski aku dan kau bertemu dalam sekali waktu, tak sedikitpun kau mau menengoknya, rasa itu. Bodoh, harusnya aku tau semua itu palsu.

Dalam diamku, Tuhan tidak tidur. Ia memandangku dari atas sana, memperhatikanku mengemasi satu-satu kenangan itu. Ia menjatuhkanku pada seorang lain yang datang tepat saat aku memutuskan untuk menghapus Mada. Ksatria yang sempat bingung arah, ia yang juga tengah membangun jalan baru untuknya berjalan lagi dari kisahnya yang lalu. Namun yang harus ku tahu, Ksatria tak selamanya bisa melindungimu. Saat tugasnya selesai, dia kembali pada tuannya.

Sampai pada suatu siang, ada yang menggertak lamunanku. Saat aku tengah memikirkan kesungguhan Ksatriaku, Mada datang. Entah badai apa yang menyapu otaknya, ia menjelaskan segala jenis perkara yang selama ini ia kunci rapat-rapat. Ia menjunjung kata maaf yang bahkan tak sekalipun dalam diam aku berpikir ia akan mengatakannya.

Mada menyiksaku, seketika rasa yang telah kukubur sedalam penyesalanku mencuat begitu saja ke permukaan. Rindu yang kubekukan padat dalam sudut mataku mencair sejadinya. Bahkan kini aku tak perduli pada bagian ketulusan, apa yang kulihat saat ini adalah linang di matanya dan gemetar tangannya. Seperti ia mengupas habis seluruh sesal yang memenjarakannya. Aku lupa sudah sampai mana, namun kini Ksatriaku tak datang menghapus senja di mataku ini. Mada disana, memberikan bahunya seraya berkata “aku pulang”.

 

#CintaDalamKata


Jika Hati adalah Rumahnya, Cinta Selalu Tahu ke Mana Ia Harus Pulang
read more

Related Posts

0 komentar:

Posting Komentar