Aku mengenalmu tepat disaat aku dipermainkan dengan seseorang di kisah yang lalu. Tersakiti dan tak dihargai, akupun memilih pergi dan meninggalkannya, dia yang tak bisa lagi kupercaya. Akan tetapi, aku tak pernah merasa kehilangan karena sejak mengenalmu, sesosok manusia baru yang hadir menemani. Aku menemukan kenyamanan yang tak pernah aku temukan pada setiap sisi manusia manapun yang pernah kutemui. Berbincang dengan semua kegilaan yang tak pernah bisa aku bagi dengan orang lain, tertawa tulus dengan memandang kesederhanaan caramu bercanda. Aku mulai jatuh dalam duniamu, aku jatuh cinta — lagi.
Manusia yang selalu ada menemaniku jauh melalui pesan sampai larut malam dalam pekerjaanku. Manusia yang selalu apa adanya ketika merasa , berbicara, dan memperlakukan orang lain. Manusia pekerja keras dan berprinsip kuat, tetapi rapuh dan memiliki kesukaan yang unik, sama dengan pribadiku.
Aku larut, jauh dan sangat dalam mengagguminya. Entah mengapa kali ini aku begitu lemah ketika mencintai seseorang, belajar lebih sabar menerima, belajar lebih mengalah dan dewasa, aku berubah menjadi sosok lemah yang tak lagi dominan dan di sisi lain semua menjadi lebih baik . Dia mengajarkan aku bagaimana hidup untuk saling mengerti kemudian menerima. Kenyamanan mahal ini, Tuhan sungguh Kau tahu apa yang kini aku rasakan.
Semua orang pasti pernah menemukan satu manusia yang memberikan rasa nyaman yang sangat berbeda dan menjadi klimaks titik balik hidupnya bukan? Kalian juga tahu rasanya, terlalu dalam.
Saat aku makin dalam terbuai aku tersentak terbunuh bukan main, dia menjadi milik seseorang tepat di hari ini, orang yang ternyata telah lama ia tunggu-tunggu untuk mencintainya. Aku hanya menjawabnya seolah aku baik-baik saja dan penjaganya mengharapkan kita untuk saling menjauh, tetapi aku heran ia berusaha mempertahankanku dihadapkan penjaganya kini meski aku baru saja mengenalnya.
Aku hanya menerima, lalu ia pergi semakin jauh dan tak pernah lagi saling memberi kabar. Kali ini rasa kehilangan dan jatuh terdalam yang pernah aku alami, padahal sebelumnya aku merasa biasa saja kehilangan orang sebelumnya. Setiap ku terdiam hanya terbayang pembicaraan panjang dan kisah sebentar yang menoreh rasa terlalu dalam. Mengingat saat-saat aku menjadi pendengar dari dongeng-dongeng perjalanan hidupnya yang menarik juga kehadirannya yang sesaat lalu membekas. Lama ia pergi.
Tapi ternyata sapaan yang telah lama kunanti yang kupikir tak mungkin lagi bisa kudekap dalam genggaman kini hadir lagi. Kita kembali menjadi sepasang ‘teman’, aku pun tak berharap banyak hanya berusaha terus menemaninya, menjadi telinganya, dan tangan penolongnya. Bahagianya menjadi keharusan untukku. Bukan untuk memaksa dia tetap bersama, hanya memberi kenyataan bahwa ada ketulusan yang nyata selalu hadir disampingnya menemani. Kemudian ia tak lagi menjadi milik seseorang dan kini aku tahu mengapa ia selalu datang lagi dan lagi meski melalui masalah atau dipaksa untuk menjauh, ia mencintaiku.
Rasa itu tetap hadir meski waktu itu dia bersama orang yang telah ia nantikan, aneh memang tetapi cinta yang nyata dari orang yang tak pernah kita tahu mengalahkan sosok yang kita pikir menjadi sosok ideal yang membahagiakan. Dia meyakininya, kini dua manusia menjadi ‘kita’.
Bahagia? Ya, sungguh jelas. Tetapi bicara nyata dan kenyataan aku dan dia menjadi paradoks, kami bahagia namun lingkungan tidak demikian. Keyakinan kami berbeda. Mungkin kita berhasil menjadi satu setelah melalui kisah panjang, tetapi kita mungkin tak berujung satu dalam kepercayaan. Miris memang berusaha bagi yang tak berpengharapan, tapi mencintai tak bisa berhenti karena perbedaan meskipun mungkin nanti satu kembali menjadi dua .
Saat aku berdoa pada Allah yang satu, ia berdoa pada Allah yang lain. Saat aku berjalan menuju bunyi lonceng di hari Minggu, ia berjalan menuju kumandang di lima waktu. Aku merasa tenang bersamanya meski kita berbeda, bahkan dia menemaniku dan menyambutku di setiap perayaan dalam keyakinanku begitu juga sebaliknya. Bahkan, kini aku turut serta membangunkannya setiap pagi sekadar untuk mengingatkannya sahur. Aku menghargainya sebagaimana aku mengenal pribadinya. Kami menjadi kaya dalam hal budaya, kepercayaan, juga rasa menerima. Tapi mengingat dunia, entah kami mau bilang apa.
Aku tak mengerti mengapa dunia ini tak saling berdamai dan menerima ketika dua manusia terikat karena hati. Bukankah Tuhan itu katanya ‘satu’? Jika begitu apakah kita yang berbeda dan mencinta harus saling memilih, meninggalkan Dia yang kita percaya atau dia yang kita cinta. Bukankah hanya kepercayaannya yang berbeda? Bukan Tuhannya, karena ketika kita bersatu kita tak meninggalkan Dia yang sesungguhnya memang hanya ‘satu’.
Ya, mungkin prinsip tadi hanya berlaku untuk kami. Dua manusia dengan dua keyakinan berbeda, berusaha berperang menjadi satu karena hati.
Tulisan ini adalah kiriman dari IDN Community. Kalau kamu ingin mengirimkan artikelmu, kirimkan ke community@idntimes.com
Kami yang Saling Mencinta Meski Berbeda Keyakinan. Entah Bagaimana Tuhan akan Menyatukan Kami
read more
0 komentar:
Posting Komentar