Dalam pasal 284 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membahas tentang hubungan seks di luar nikah yang akan mendapat sanksi. Namun, pasal tersebut dianggap masih kurang adil karena hanya mengatur hukum pidana kalau salah satu atau kedua pelaku sudah menikah. Sementara, apabila keduanya belum menikah, mereka tidak bisa dihukum pidana.
Seperti dikutip dari The Jakarta Post, Rabu (24/8) dalam sidang peninjauan KUHP, MK menghadirkan tiga ahli untuk memberikan tanggapan terkait hubungan luar nikah dan sesama jenis (LGBT). Menurut penuturan salah satu hakim, Patrialis Akbar, kebebasan seseorang harusnya dibatasi oleh nilai moral dalam agama. Inilah yang dianggap Patrialis, berdasarkan riset yang dilakukannya, tidak tercantum dalam HAM. Indonesia bukanlah negara sekuler, tapi merupakan yang mengakui keberadaan agama dan nilainya.
Isu ini diangkat oleh AILA dan KPAI.
Pada hari yang sama, Aliansi Cinta Keluarga (AILA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengakui bahwa hubungan di luar nikah adalah pelanggaran hukum. Menurut KPAI, Asrorun Niam Sholeh harus ada peninjauan lebih lanjut terkait pasal 284 dalam KUHP tentang perzinahan, pencabulan, yang termasuk LGBT.
Niam menganggap bahwa hubungan seks di luar nikah itu tidak dibenarkan oleh agama dan hukum. Serupa dengan KPAI, perwakilan AILA lebih gencar karena telah membuat petisi terkait hukuman ini. Menurut mereka, hubungan seks di luar nikah dan sesama jenis adalah ilegal. Melalui petisi tersebut, MK sendiri melakukan sidang peninjauan KUHP.
Tiga ahli yang dihadirkan adalah Profesor Hukum Universitas Padjadjaran Atip Latipulhayat, Ahli Hukum Konstitusional Universitas Indonesia (UI) Hamid Chalid dan hakim MK sendiri Aswanto. Ketiga pihak mengaku bahwa konsep Hak Asasi Manusia secara universal tidak bisa diterapkan di Indonesia. Bahkan, HAM disebut berbahaya.
MK sebagai institusi yang dituntun oleh 'cahaya' Tuhan.
Dalam sidang, Patrialis yang juga mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) mengutarakan pandangannya terhadap petisi dan permintaan dari AILA dan KPAI. Patrialis menyebut kalau Indonesia bukan negara sekuler yang tidak menghormati agama. Maka, Indonesia harusnya berpegang teguh pada apa yang dipercaya. MK sendiri disebut sebagai institusi yang dituntun oleh 'cahaya' Tuhan.
Satu suara dengan Patrialis, ketiga ahli tersebut berfokus pada norma-norma agama dan tidak berlakunya hukum HAM di Indonesia. Menurut Aswanto, selama ini pemerintah dianggap memberikan kebebasan bagi masyarakat lakukan perzinahan. Aswanto mengaku kesal dengan pemerintah yang tidak serius menanggapi masalah seks bebas ini.
Baca Juga: 13 Komentar yang Nggak Perlu Kamu Katakan kepada Kaum Homoseksual
Kemudian, Atip Lipulhayat sendiri mengatakan kalau Indonesia adalah negara khusus yang tidak bisa mengikuti hukum HAM. HAM bahkan disebut Atip sebagai hukum yang berbahaya karena akan melanggar seluruh norma agama di Indonesia. Bukan hanya perzinahan di luar nikah, tapi juga cinta sesama jenis yang tidak harusnya diizinkan di Indonesia. Atip menambahkan, LGBT bukan hak setiap orang, maka harus 'diluruskan' kembali melalui hukum yang kuat. Hukum Indonesia hanya mengakui pernikahan pria dan wanita.
Bukan hanya itu, Hamid Chalid pun menyebut kalau pemahaman tentang seks luar nikah dan LGBT Indonesia dipengaruhi oleh pemikiran liberal dari Belanda. Menurut Hamid, secara tidak langsung pasal 248 menunjukkan kalau pemerintah memberikan izin para seks di luar nikah, pemerkosaan terhadap pria dan hubungan sesama jenis. Hamid menambahkan kalau KUHP sendiri semakin liberal.
Pernyataan para ahli dan MK sendiri membuat beberapa aktivis HAM dan LGBT khawatir kalau hal ini akan jadi efek domino. Ya, orang-orang ditakutkan akan bertindak seenaknya karena sudah ada 'hukum yang mengatur'. Aktivis juga menyebut para ahli mencoba mengubah Indonesia jadi negara konservatif.
Pengusung petisi dan MK sendiri berisi orang-orang konservatif.
Menanggapi pernyataan dalam sidang tersebut, aktivis LGBT Dede Oetomo dan Direkut Eksekutif Humah Right Watch (HRW) cabang Indonesia Andreas Harsono pun menyebut ahli dan pembuat petisi adalah orang-orang konservatif yang coba menyebarkan paham mereka di Indonesia.
Andreas sendiri menyebut, selama ini tidak pernah ada tindakan pemerintah yang menunjukkan perlindungan secara keseluruhan pada warga Indonesia. Baik itu LGBT ataupun masyarakat lapisan lain selama tiga dekade terakhir. Menurut Andreas pun tidak ada tindak kriminal yang dilakukan pasangan LGBT. Andreas menambahkan kalau amademen KUHP ini akan jadi efek domino. Pada akhirnya, hukuman bukan hanya berfokus pada pasangan sesama jenis, tapi beda jenis yang sama saja melanggar hak asasi.
Senada dengan Dede yang merupakan pencetus komunitas GAYa Nusantara mengatakan kalau selama ini pemahaman tentang LGBT adalah salah. Banyak yang menganggap cinta sesama jenis adalah penyakit dan menular. Padahal cinta adalah cinta, pada akhirnya, menurut Dede. Dirinya juga menambahkan kalau anggota MK sendiri tidak mendapat pendidikan seks dengan tepat di sekolah. Hal ini membuat mereka konservatif terhadap hal ini. Ketidakpekaan juga akhirnya menjadi alasan orang-orang menilai LGBT sebelah mata, tanpa mengetahui lebih jauh.
Bukan hanya HRW dan GAYa yang direncanakan hadir dalam sidang MK berikutnya, tapi juga aktivis dari Persatuan Anti-diskriminasi, Handoko Wibowo. Nah, menurutmu haruskah ada perbaikan dalam KUHP Indonesia terkait tindakan seks ini?
Baca Juga: Ketika Jusuf Kalla, Ahok, Menteri Agama dan Para Ahli Bicara LGBT
Mahkamah Konstitusi Bahas Petisi Agar Pelaku Seks di Luar Nikah dan LGBT Dipenjara
read more
0 komentar:
Posting Komentar