Aku sedang berdua dengan secangkir kopi malam ini, ketika tiba-tiba namamu hadir dalam ingatan. Tidak, bukan aku sengaja mengingatmu. Mengingat kamu? Seseorang yang pernah dengan tega membunuh mimpiku? Yang benar saja! Aku bukan masih menyimpan dendam padamu. Tidak. Sudah kumaafkan dirimu bertahun lalu. Sudah kututup rapi kisah kita. Bahkan sampulnya berbentuk seperti apapun, aku sudah lupa.
Aku hanya ingat beberapa potong kejadian yang sempat kau sematkan sebelumnya. Sembilan musim yang lalu, kita pernah saling berkata akan selalu bersama. Seingatku selanjutnya kau genggam jemariku, dan berkata kau menyayangiku. Ah, maaf aku sudah lupa apa yang kau katakan selanjutnya. Yang pasti kini aku tahu, kau hanya sedang membual kala itu.
Dulu aku sangat menyayangimu, kau tahu? Aku tak pernah berpikir akan jatuh sedalam itu padamu. Karena bagiku, kau hanya seseorang lalu yang akan menjadi pengalih dari cinta pertamaku. Tapi kuakui kau berhasil mendapatkanku. Kau buat aku – yang pada dasarnya bukan gadis yang bisa berhenti pada satu pria – tertuju padamu saja. Aku angkat topi untukmu. Terima kasih untuk itu, karena telah berhasil membuatku jatuh dulu.
Hal lain yang kuingat malam ini adalah ketika kau meluluh lantakkan hatiku sore itu. Ah, sebenarnya aku telalu enggan mengingat bagian itu. Karena bagaimanapun juga, masih sedikit nyeri rasanya membayangkan kau dan dirinya saling bercumbu di belakangku –atau di depanku? – dulu. Kau tahu, rasanya ingin kubunuh dirimu dan dia detik itu juga. Beruntung aku masih menemukan sedikit akal sehatku kala itu.
Samar-samar aku masih sadar bahwa gadis yang sedang dalam rengkuhanmu itu adalah sahabatku, adik terbaik yang sempat sangat ku sayang dulu. Bukankah aku hanya melangkah pergi tanpa berbalik ketika kau mengejarku? Tidak, aku belum menangis saat itu. Aku hanya sedang sibuk mencerna potongan kejadian yang baru saja tertangkap inderaku.
Mungkin saja itu hanya halusinasiku bukan? Tapi semakin kau kejar aku, semakin aku sadar bahwa memang begitu. Dan kau membuatku mengerti artinya dikhianati. Terima kasih untuk itu. Akan kuingat sakitnya, agar tak setega itu aku nantinya.
Satu lagi yang kuingat malam ini, ketika kemudian kau dengan sebegitu berjuangnya memintaku kembali padamu. Setelah beberapa minggu ku lewati tanpa penjelasanmu, menurutmu maukah aku memberimu kesempatan baru? Harusnya kau tau sesakit apa aku, sebelum kau –dengan tak tau malu– mengejarku lagi bukan? Harusnya kau tau serusak apa hubunganku dengan dia setelah itu. Harusnya kau tahu semarah apa aku pada sahabatku –yang juga selingkuhanmu– dulu. Dan harusnya kau tahu, seberapa dia juga berjuang meminta maafku. Bahkan lebih kuhargai dia daripada dirimu. Maaf, untuk hal ini aku tak akan berterima kasih padamu.
Ada beberapa hal yang aku sesali kini – dalam rangka aku mengingatmu malam ini. Jika saja kau sedikit menggunakan kepalamu, kenapa tak kau pilih wanita lain sebagai penggantiku? Siapa saja seharusnya, asal bukan sahabatku. Jika saja kau sedikit menggunakan hatimu, kenapa tak kau pilih untuk membahagiakan dia saja daripada mengejarku? Ah, sudahlah. Lagipula, tak ada baiknya terus menerus men-jika-i keadaan.
Pada akhirnya ku sudahi ingatanku tentang dirimu dengan seutas senyum. Bahwa ternyata dari sekian banyak luka, kau mengajarkanku beberapa hal. Kau mengajarkanku cara memaafkan, itu yang terpenting. Dan kau juga perantara pendewasaanku, yang bagaimana pun juga aku tak akan sekuat ini jika bukan karenamu.
Terima kasih, dan semoga lain waktu kita bisa bertemu tanpa harus ada ingatan masa lalu.
#CintaDalamKata
Selamat Malam, Pria yang Sempat Kusebut Kesayangan
read more
0 komentar:
Posting Komentar