Pernah merasa sedih dan gak enak setelah menyaksikan film kekerasan?
Kadang suasana hati kita bisa berubah total seharian setelah menyaksikan sebuah film yang kejam atau melihat berita mengerikan di TV atau internet. Tahu gak kenapa sebabnya?
Terlalu banyak melihat kejadian kekerasan di media sosial ternyata mampu membuat kita memiliki gejala post-traumatic stress disorder atau lebih dikenal sebagai PTSD.
Berdasarkan The British Psychological Society di tahun 2015, media sosial telah membuat cerita kekerasan dan gambar eksplisit mampu ditonton secara bebas dan bahkan dalam bentuk aslinya, belum melewati sensor. Melihat berbagai kejadian mengerikan setiap harinya mampu memberikan dampak yang cukup negatif pada kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini dinamakan "vicarious trauma".
Ini adalah sesuatu yang sering dialami para psikoterapis, pekerja sosial, dokter, dan para relawan untuk menghadapi bahaya karena terlalu banyak menyaksikan hal-hal negatif karena akibat dari pekerjaan mereka. Jadi perasaan mengerikan gak enak yang kamu rasakan setelah nonton film atau melihat berita ini sebenarnya normal.
Perasaan kosong, apatis, kegelisahan, keputusasaan, semua itu normal.
Hah, normal?
Iya.
Kamu hanya merasakan sedikit duka mendalam.
"Vicarious trauma" mungkin sudah cukup akrab bagimu karena kamu sudah sering menonton hal-hal negatif dari media sosialmu.
Tak menutup kemungkinan bahwa media sosial yang sering kamu lihat banyak memuat penolakan, kemarahan, dan hal-hal tak masuk akal lainnya.
Ada lima tahap duka yang disebut sebagai Kübler-Ross yang bisa kita temukan di awal trauma.
Penolakan bisa kita temukan ketika berbagai tagar # mulai menyerang dan menjadi populer ketika sesuatu terjadi, orang-orang menunjukkan rasa terkejut mereka dan rasa tak percaya mereka akan suatu hal.
Kemarahan adalah tahap kedua dari duka, bisa kita lihat ketika gelombang amarah di media sosial mulai masuk dan memenuhi setiap beranda kita. Kita bisa merasakan kemarahan seseorang yang kehilangan keluarganya, dan kita mulai marah karena kita hidup di dunia yang penuh dengan cela.
Pembantahan adalah tahap ketiga di mana petisi-petisi mulai menyebar, membuat donasi dan membagi artikel soal kepemimpinan. Semua ini akan membuat kita bersedia untuk ikut berpartisipasi dalam sebuah gerakan meskipun itu kecil. Kita bersedia karena kita juga ikut merasakan keputusasaan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian negatif ini.
Lalu ada depresi,yaitu tahap yang tak setiap orang bisa lihat. Kamu mulai merasa tak mampu melakukan apapun karena sudah ikut terluka dan kecewa.
Kemudian ada penerimaan, yaitu pasrah terhadap semua yang terjadi dan menyadari bahwa satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah berdoa.
Baca juga: 5 Cara Terampuh untuk Menyembuhkan Trauma Masa Kecil
Rasa duka — entah itu dirasakan akibat media sosial atau tidak — tak ada batasan yang jelas, tak bisa dikotak-kotakkan.
Orang-orang yang menjadi saksi tragedi akan merasakan trauma dan duka yang berbeda jika dibandingkan kita yang menjadi saksi kedua. Namun tanpa melihat kejadian secara langsung sekalipun, kita juga masih bisa merasakan duka akibat tragedi dan teror yang terjadi.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Kita hidup di dunia yang kompleks. Media sosial kini menjadi inti dari setiap interaksi jika kita tak setiap hari menyaksikan semua hal secara langsung.
Jika kamu merasa tanda-tanda vicarious trauma, sebaiknya kamu mencari dukungan mental yang benar-benar bisa diandalkan. Misalnya dengan bercerita pada teman dekat atau keluarga. Karena semakin kamu menerima bahwa dunia memang tak sepenuhnya indah, kamu akan sadar bahwa semua hal memang tak selamanya sesuai dengan harapan.
Dan jangan lupa untuk terus berdoa.
Baca juga: 13 Komentar yang Nggak Perlu Kamu Katakan kepada Kaum Homoseksual
Ternyata Melihat Tindakan Kekerasan di Media Sosial Bisa Membuat Kita Trauma!
read more
0 komentar:
Posting Komentar